SMART CITY Butuh SMART GOVERNANCE oleh SMART GOVERNMENT

Kota cerdas (smart city) itu hanya dapat terealisasi oleh bupati dan wali kota yang cerdas. Apa pun peralatannya, apa pun teknologinya, tanpa wali kota yang cerdas, tanpa bupati yang cerdas tidak akan tercapai kota cerdas,” ungkap Wakil Presiden Jusuf Kalla di acara Indonesia Internasional Smart City Expo and Forum 2019 (17/7/2019).

mayor2Tulisan ini mencoba menjelaskan Pengertian dan Hubungan antara SMART CITY, SMART GOVERNANCE, dan SMART GOVERNMENT dari ilmu Tata Kelola Teknologi Informasi dan Pengalaman Praktis Penulis sebagai Peneliti & Konsultan Smart City.

I. GOVERNANCE vs. GOVERNMENT: Apa Bedanya?

Sering kita mendengar 2 kata yang membingungkan, bahkan sering saling salah tertukar, yakni kata: “Governance” dan “Government“. Bahkan di dalam model Smart City Kemenkominfo salah satu dimensi dari enam dimensi Smart City adalah Smart Governance. Lalu mengapa bukan “Smart Government“? Emang apa bedanya Governance dengan Government? Adakah hubungannya? Bolehkah istilah “Smart Governance” saya ganti dengan “Smart Government”? Berikut ini penjelasan saya: Continue reading “SMART CITY Butuh SMART GOVERNANCE oleh SMART GOVERNMENT”

Birokrat Pemda masih CONFORMANCE daripada PERFORMANCE, ini Buktinya:

strongMasih ingat tulisan analisis saya bahwa aparatur pemda sebagus apapun, termasuk pemkot Surabaya, lebih mengutamakan memenuhi Keinginan/Perintah Pimpinan (Conformance) dibandingkan keinginan/kesadaran pribadi untuk meningkatkan kinerja (Performance) untuk masyarakat? https://egovernmentindonesia.wordpress.com/2017/11/24/tata-kelola-e-government-performance-vs-conformance/

Dalam contoh kasus yang positif adalah tingginya kinerja birokrat Pemkot Surabaya, semata-mata bukan karena sistem e-Kinerja yang menghitung penghasilan PNS pemkot berdasar prestasi & kinerjanya, atau kesadaran pribadi masing-masing PNS pemkot, atau tidak juga karena kualitas SDM-nya, namun tingginya kinerja PNS Pemkot Surabaya tidak bisa dilepaskan karena Kuatnya Leadership Bu Risma sebagai walikota dalam melakukan fungsi Tata Kelola, yakni Monitoring – Evaluation- & Direct. Bahkan sebagai pimpinan daerah tertinggi di kota Surabaya, sangat sering Bu Risma mengkontrol detail operasional di lapangan alias memastikan fungsi-fungsi Manajemen bekerja memberikan layanan kinerja terbaik untuk masyarakat (Performance). Hasilnya, meskipun tidak semua PNS sadar atau berkeinginan untuk meningkatkan Kinerja, namun hampir seluruh PNS di Pemkot Surabaya terpaksa meningkatkan Kinerja dalam rangka memenuhi Keinginan/Perintah Pimpinannya (Conformance).

Contoh kasus nyata Negatif, yang baru-baru saja terjadi dan membuktikan hipotesa saya ini, yakni kejadian berhentinya layanan publik di kota Bekasi selama 2 hari gara-gara konflik antar 2 pimpinan tinggi kota yakni Walikota & Sekdahttps://megapolitan.kompas.com/read/2018/07/31/18090201/pelayanan-publik-di-bekasi-terhenti-diduga-karena-konflik-pj-wali-kota Kasus ini menunjukkan betapa kepentingan masyarakat luas (yakni layanan publik) dapat dikalahkan, bahkan di ‘shut down’ selama 2 hari oleh aparatur pemda hanya demi ‘Conformance‘ terhadap kepentingan salah satu Pimpinan tinggi daerahnya.

Demikianlah, 2 kejadian ini menjadi bukti empiris bagi saya bahwa di birokrasi pemda Indonesia:
1. Conformance terhadap Perintah/Keinginan Pimpinan Daerah masih jauh lebih dominan daripada kesadaran/kemauan untuk memenuhi Performance.

2. Dari kenyataan ini menunjukkan bahwa setiap jajaran Birokrasi sebuah Pemda pasti membutuhkan Strong Leadership sekaligus Good Leader! Tanpa Pimpinan tertinggi yang Kuat & Baik dapat dipastikan setiap jajaran birokrasi pemda akan cenderung bekerja tanpa semangat bersama meningkatkan kinerja.

Sudahkah kota/kabupaten anda memiliki Walikota/Bupati yang Baik & Kuat?