STRATEGI INTEGRASI DATA PEMDA

EmilDardak-IntegrasiDataMenariknya dalam fenomena Integrasi Data di organisasi Pemerintahan selalu saja bukan hanya tentang IT, namun juga tentang ” 2-O” yakni: Organisasi (struktur, proses, leadership, dll) & Orang.
Saya insyaAlloh orang yg optimis sesusah apapun permasalahan pasti bisa diatasi asalkan sebuah pemda mau memulai, mau terus mengevaluasi, & mau terus memperbaiki. Bagi saya fenomena real implementasi IT di pemda di Indonesia adalah sebuah tantangan penelitian, pengetahuan, maupun kontribusi. Banyak konsep-konsep teknologi di pemerintah daerah yg tidak bisa begitu saja berjalan tanpa intervensi politik & struktur organisasi hingga insentif finansial. Integrasi data di Pemda bukan hanya tentang technically menkoneksikan database, namun jauh lebih kompleks tentang ketersediaan data digital, redesign proses bisnis berbasis sistem IT, & tata kelola data dan informasi. Sesudah itu barulah berbicara aspek teknologi dari mulai API, Web Service hingga Sistem Penghubung Layanan lainnya.

Kompleksitas ini perlu difahami OPD PenanggungJawab Integrasi Data meski tidak perlu membuatnya pesimis dan takut memulai. Yang terpenting komunikasi dan dapatkan dukungan pimpinan dinas dan pimpinan daerah sejak awal & komunikasikan berbagai manfaat dan permasalahan kepada semua wali data dan pimpinan. Buat aplikasi & layanan hasil dr integrasi data itu utk Wali Data dan Pimpinan sehingga mereka duluan yang juga akan merasakan langsung hasil dari dukungan mereka untuk Integrasi Data.

Bagaimana detail teknis dan permasalahannya di level Provinsi dan Kota/Kabupaten? Be patient ya sedang kami nikmati, pelajari, & jalani utk menjadi ilmu & good practice yang mudah2an dpt dipelajari banyak pemda. 🤩🙏
Mulai aja, terus saling berbagi pengalaman dan pengetahuan demi keberhasilan bersama. Pelan-pelan, sektor per sektor pasti bisa! 💪🤩🇮🇩👏integrasiData

“Perhargaan Walikota”: Strategi Memotivasi Agents of Change Kota

Jumat, 31 Mei 2019 bertepatan dengan Upacara Ulang Tahun Kota Surabaya ke-726, Walikota Surabaya (Bu Risma) menganugerahkan penghargaan kepada sejumlah orang yang dianggap sebagai agen-agen perubahan dan berkontribusi signifikan bagi pembangunan kota Surabaya. Saya dan 3 dosen ITS lainnya Alhamdulillaah merupakan 4 orang yang diberi penghargaan Walikota Surabaya atas kontribusi kami di bidang TIK bagi pemerintah kota Surabaya.

Jujur, saat saya dihubungi Dinkominfo Surabaya untuk diusulkan sebagai salah satu penerima penghargaan Walikota rasanya saya masih ndak percaya, bahkan to some degree nggak mikir juga. Tapi makin lama gara-gara penghargaan orang lain dan fakta sangat sedikitnya orang yang memperoleh penghargaan Walikota Surabaya untuk kontribusi di bidang TIK bagi Pemkot Surabaya sedikit demi sedikit rasa bahagia dan bangga itu muncul juga 🙂 Rasanya saya dihargai di kota saya sendiri (padahal kota kelahiran saya Jogja, malah belum mengakui saya lho! 🙂 )

Saat upacara penerimaan penghargaan walikota itu saya melihat banyak sekali tokoh-tokoh masyarakat Surabaya yang juga memperoleh penghargaan. Mereka dari berbagai kalangan dan untuk berbagai aspek kontribusi. Semuanya bahagia, semuanya bersemangat, semuanya terlihat bangga dari banyaknya semua orang berselfie ria membawa sertifikat berpigura bertuliskan Penghargaan Walikota tersebut. Dari fenomena ini saya belajar betapa Penghargaan Walikota atau Pimpinan Daerah merupakan salah satu strategi ampuh memotivasi keterlibatan dan dukungan agen-agen perubahan di masyarakat, termasuk juga Konsultan-Konsultan yang sering mendampingi Pemkot.  Saya jadi ingat model Change Management dari COBIT di tahapan Implementation yakni step “Identify role players” di mana disarankan penting untuk mengenali orang-orang kunci yang berkontribusi dalam perubahan, memberinya peran penting, dan menghargai atau memotivasinya untuk semakin berkontribusi.

Dari pengalaman (& penghargaan) ini saya memperoleh sebuah lesson learned tautan dari lesson learned saya sebelumnya saat belajar dan bekerja di Flinders University of South Australia: “To what extend a someone’s success depends on how much he/she can utilize his/her resources“….Nah dalam konteks pembangunan egovernment atau Smart City, masyarakat, konsultan, organisasi swasta, dan semua pemangku kepentingan kota/kabupatan adalah sumber daya yang musti dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk bersinergis berbagi peran. Acara tahunan pemilihan dan Penghargaan Walikota adalah salah satu aktivitas pemberdayaan agen-agen perubahan tersebut. Sudahkah kota/kabupaten anda melakukannya?

Government Resource Planning (GRP) di Indonesia: Apa yang Ada, Hubungan antar Modul GRP, Manfaat, & Permasalahannya?

GRPGovernment Resources Planning atau GRP adalah sekumpulan modul aplikasi untuk mendukung fungsi-fungsi internal dan layanan publik organisasi pemerintah, mengelola sumber daya pemerintahan, mengintegrasikan aktivitas birokrasi pemerintahan dari hulu sampai hilir (dari perencanaan, belanja, pelaksanaan program, hingga evaluasi), mudah untuk saling diintegrasikan dalam satu sistem informasi. GRP mendukung proses pengumpulan, pemrosesan, pendokumentasian, dan integrasi data menjadi informasi internal dan antar Perangkat Daerah dari berbagai proses bisnis yang didukung oleh GRP. Di beberapa daerah di Indonesia istilah GRP lebih dikenal dengan nama “GRMS” (Government Resource Management Systems” meski nama GRMS saya dengar sudah menjadi nama paten GRP Pemkot Surabaya 🙂

GRP di pemerintahan mirip dengan Enterprise Resource Planning (ERP) untuk bisnis. ERP adalah sebuah software yang berisi modul-modul aplikasi yang mendukung fungsi-fungsi perusahaan.Modul-modul aplikasi ERP dapat dibeli terpisah sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan teknis organisasi. Beberapa modul utama ERP mencakup modul: keuangan, sumber daya manusia, perencanaan produksi, pembelian bahan, kontrol persediaan, distribusi, akuntansi, dan marketing. Beberapa fungsi dan modul yang didukung GRP di pemerintah daerah di Indonesia saat ini mencakup: Continue reading “Government Resource Planning (GRP) di Indonesia: Apa yang Ada, Hubungan antar Modul GRP, Manfaat, & Permasalahannya?”

11 Prinsip Tata Kelola Pemerintahan yang Baik

goodGovernance      Pada dasarnya pemerintahan daerah dibutuhkan dan bertujuan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Untuk mencapai tujuan tersebut pemimpin daerah merumuskan visi yang ingin dicapainya dalam 5 tahun kepemimpinannya, yang dijabarkan dalam program-program unggulan, rencana strategis, indikator kinerja, program hingga aktivitas setiap perangkat daerah (PD) yang dituangkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Potensi keberhasilan pelaksanaan program-program pemerintah daerah tersebut akan semakin tinggi apabila memperoleh dukungan dari masyarakat. Berdasarkan pengalaman banyak pemimpin daerah, kunci memperoleh dukungan masyarakat adalah kepercayaan masyarakat. Apabila masyarakat sudah percaya kepada pemimpin daerah dan aparatnya maka apapun yang diprogramkan oleh pemimpin akan didukung masyarakat. Bentuk dukungan masyarakat ini dapat dalam bentuk dukungan sosial, tenaga, waktu, keamanan, ide/gagasan/pemikiran, hingga finansial.

Tata Kelola Pemerintahan yang Baik adalah Kunci Meraih Kepercayaan Masyarakat

Untuk memperoleh kepercayaan masyarakat sekaligus Continue reading “11 Prinsip Tata Kelola Pemerintahan yang Baik”

KPI Bersama: Strategi Memaksa OPD saling Berkolaborasi

Kolaborasi” atau Kerja-sama antar OPD, bahkan antar Bidang dalam satu OPD adalah satu kata sederhana yang bagi orang yang awam dunia operasional di lapangan menganggapnya sebagai suatu hal yang mudah dilakukan. Kolaborasi atau Kerja-sama antar Bidang dan antar OPD adalah suatu hal yang meski sangat sulit, faktanya harus dilakukan karena banyak sekali visi dan misi Pimpinan Daerah, serta indikator-indikator RPJMD yang “multi-OPD” yakni mencakup tupoksi lebih dari satu OPD dan hanya dapat tercapai apabila melibatkan lebih dari satu OPD.

“Ya udah, minta aja Walikota/Bupati memerintahkan OPD-OPD terkait bekerja-sama!”
Faktanya implementasi di lapangan tidak berjalan juga. Lalu bagaimana opsi solusinya?

Dari pengalaman saya berorganisasi, bekerja sebagai PNS pejabat struktural, dan bekerja sebagai Konsultan Pemda, Kolaborasi atau kerja-sama lintas OPD kemungkinan besar akan dapat terjadi apabila sejak di penyusunan RPJMD telah ditetapkan Indikator-Indikator Kinerja “Bersama” yang harus dicapai oleh lebih dari 1 OPD. Indikator Kinerja atau KPI tersebut akan memaksa OPD-OPD penanggung-jawab saling membuka diri dan bekerja-sama demi tercapainya target kinerja bersama. Apabila indikator kinerja ‘Bersama’ telah dimasukkan dalam RPJMD selanjutnya peran Strong Leadership Pemimpin Daerah dalam memonitor, mengingatkan, mengawal, dan menegakkan sanksi & reward atas pencapaian Indikator Kinerja setiap OPD, termasuk instruksi untuk saling bekerja-sama, merupakan Faktor Penentu berikutnya.

Tingkat kesulitan berikutnya adalah bagaimana mendorong kerja-sama antar Bidang dalam satu OPD? karena umumnya saat penyusunan Rencana Kerja (Renja) sebuah Program dapat menjadi Program “Bersama” lebih dari satu Bidang, namun nama Kegiatan dan Target Luarannya harus berbeda. Sebagai contoh: Seksi Tata Kelola di Dinkominfo umumnya memiliki tanggung-jawab melaksanakan berbagai kegiatan yang terkait dengan perencanaan dan evaluasi pengelolaan layanan SI/TI seperti evaluasi kapasitas infrastruktur jaringan komputer (yang dalam operasional teknis nya menjadi tanggung-jawab Seksi Infrastruktur). Sudah menjadi hal jamak, apabila Program “Evaluasi Kapasitas Jaringan” hanya menjadi program Seksi Tata Kelola maka anggaran dan beban kerja seluruhnya akan diserahkan ke Seksi Tata Kelola, bahkan termasuk kualitas perangkat pengumpulan datanya. Padahal Seksi Infrastruktur harus terlibat karena ia yang memiliki data dan berkepentingan terhadap hasil evaluasi tersebut. Nah, untuk itu saat penyusunan Renja, sebaiknya Program “Evaluasi Kapasitas Jaringan” tersebut menjadi Program Bersama antara Seksi Tata Kelola dengan Seksi Infrastruktur, dengan selanjutnya dicarikan Nama Kegiatan dan Target Luaran yang berbeda. Misalnya nama Kegiatan untuk Seksi Tata Kelola adalah “Survey Kebutuhan dan Permasalahan Koneksi Internet dan Jaringan OPD” dengan Target Luaran “1 Buku hasil kajian”, sementara Seksi Infrastruktur nama Kegiatannya “Koordinasi Staf Teknis Infrastruktur OPD” dengan Target Luaran “1 Dokumen Laporan Kegiatan”.

Dengan strategi KPI (Indikator Kinerja) Bersama atau Program Bersama disertai dengan pengawalan Strong Leadership dari Pimpinan Daerah umumnya kolaborasi lintas OPD dan lintas Bidang akan dapat terwujud, dan kualitas hasil akhirnya akan lebih baik karena lebih banyak melibatkan OPD atau bidang/seksi yang ahli di bidangnya.

 

Dinas Kominfo BOJONEGORO Gelar Rakor SPBE & Smart City 2018

Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menggelar Rapat Koordinasi Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) dan Smart City bertempat di ruang Angling Dharmo Pemkab Bojonegoro, Kamis 5 Juli 2018. Rakor yang dibuka secara langsung oleh Pj. Bupati Bojonegoro Dr. Suprianto, SH, MH tersebut dihadiri oleh Pj. Sekretaris Daerah, Staf Ahli, Asisten Pemerintahan dan Kesra, pejabat-pejabat eselon dari Badan, Dinas, Bagian, Inspektorat, Setwan, Satpol PP, RSUD, dan Kecamatan serta dari Dewan TIK Bojonegoro. Kegiatan ini bekerjasama dengan dua narasumber yang sangat berkompeten, Tenaga Ahli dari Institut Teknologi Surabaya (ITS) yaitu TONY Dwi Susanto, Ph.D., ITIL, COBIT, TOGAF dan Daniel Hary Prasetyo, S.Kom., M.Sc.

Pj. Bupati Bojonegoro Dr. Suprianto, SH, MH mengawali pembukaanya menyampaikan pada bahwa Continue reading “Dinas Kominfo BOJONEGORO Gelar Rakor SPBE & Smart City 2018”

SUPPLIER MANAGEMENT Wajib bila Pemda ingin e-Government nya Terus Berkembang!

Dapatkah sebuah Pemda membangun, mengoperasikan, dan mengembangkan semua sistem TI secara mandiri: direncanakan sendiri, dibuat sendiri, dioperasikan sendiri, dievaluasi sendiri, dikembangkan sendiri? Atau benarkah sebuah Pemda mustinya melakukan semuanya sendiri? Atau salahkah jika sebuah Pemda melakukan semuanya dengan bantuan Vendor/Supplier/Konsultan?

Dalam ilmu Manajemen Layanan Teknologi Informasi (MLTI atau IT Service Management) dan dalam konteks e-Government, pemda atau lebih spesifik adalah Dinas Komunikasi & Informatika (Dinkominfo) berperanan sebagai Penyedia Layanan TI (Service Provider) bagi masyarakat, kalangan bisnis, dan organisasi pemerintah lain yang berperan sebagai Pelanggan (Customer). Dalam menyediakan layanan TI, sebuah Penyedia Layanan TI tidaklah mungkin bekerja sendiri. Ia pasti akan membutuhkan bantuan organisasi/pihak lain. Umumnya Penyedia Layanan TI akan membangun dan mengoperasikan sebuah layanan yang langsung berinteraksi dengan Pelanggan, disebut sebagai Customer-Facing IT Services, sementara sistem-sistem penyedia layanan tersebut hanya akan dapat berjalan apabila didukung oleh layanan-layanan pendukung (seperti infrastruktur, akses internet, listrik, dll) yang disebut dengan Supporting Services, yang disediakan oleh Pihak Ketiga (selain Penyedia Layanan dan Pelanggan). Pihak ketiga inilah yang disebut dengan istilah “Supplier“.

Supplier atau Pemasok adalah pihak ketiga yang bertanggung-jawab mensuplai barang atau jasa yang dibutuhkan Penyedia Layanan dalam membuat dan menyampaikan layanan TI. Contoh Supplier dalam konteks e-Government, mencakup: vendor hardware atau software, penyedia layanan jaringan telekomunikasi seperti Telkom, perusahaan-perusahaan outsourching lainnya, dan Konsultan pelaksana survey atau kajian. Dalam konteks pemda, Supplier sering disebut sebagai “Rekanan“.

Dengan keterbatasan sumber daya yang dimiliki Pemerintah Daerah atau Continue reading “SUPPLIER MANAGEMENT Wajib bila Pemda ingin e-Government nya Terus Berkembang!”

Proses Difusi Inovasi (Rogers, 2003) dalam eGovernment

innovation-diffusion-everett-rogers-15-638Untuk membuat masyarakat mau memakai sebuah layanan eGovernment Tidaklah cukup dgn program Publikasi yg sekedar menginformasikan bahwa layanan itu ada (tahap “Knowledge“).

Sebuah inovasi teknologi, spt Layanan Publik Online, juga membutuhkan tahapan “Persuasion“, yakni tahapan meyakinkan masyarakat bahwa Layanan Online tsb memiliki banyak kelebihan drpd layanan manual sebelumnya, lebih praktis, lebih cepat, lebih mudah, pas dgn kebutuhan & gaya hidup mrk, aman tdk beresiko, bahkan masyarakat dpt latihan mencobanya.

Berbeda dgn tahapan “Knowledge” yg lebih efektif menggunakan media massa, informasi-informasi tahapan “Persuasion” ini lebih efektif jika disampaikan melalui Personal Networks yakni oleh tokoh atau orang yg berpengaruh di masyarakat dan orang-orang yg dekat dgn target pengguna (spt guru, ustadz, RT, dll).

Tahapan Persuasion inilah yg lebih mendorong masyarakat beranjak ke tahapan “Decision” tahapan ketika seseorang mengambil keputusan bersedia menggunakan inovasi teknologi tersebut ataukah menolaknya.

Meski individu atau masyarakat telah pernah menggunakan suatu inovasi teknologi (tahapan “Implementation“), mereka akan tetap melalui tahapan “Confirmation” yakni mencari pendapat orang lain atau berbagai sumber apakah keputusan mereka menggunakan teknologi tersebut sudah tepat: apakah mereka musti tetap memakai teknologi tersebut ataukah meninggalkannya?

Jadi memang proses Adopsi sebuah Layanan eGovernment adalah sebuah proses yg harus kontinyu shg pemda pun harus menyiapkan rencana kerja yg kontinyu setiap tahun, bukan kegiatan ad-hoc yg sekedar mjd bagian dr proyek pembuatan aplikasi. Bagaimana dgn adopsi teknologi anda? Baca liputan strategi adopsi e-Government di kota Surabaya (Jawa Pos): https://www.pressreader.com/indonesia/jawa-pos/20180614/282329680646912

“Pain Point” & “Trigger Event” Tata Kelola e-Government

painUmumnya Teknologi Informasi (TI), oleh pemerintah daerah (pemda), hanya difahami sebagai pembelian perangkat keras (infrastruktur TI) dan perangkat lunak (software atau aplikasi). Padahal kalo boleh saya analogikan dengan infrastruktur jalan: aplikasi hanyalah “kendaraan” yang berfungsi memindahkan material informasi dari satu PD (perangkat daerah) ke PD lain, sementara infrastruktur TI adalah “jalan” yang dilalui kendaraan aplikasi tersebut. Kendaraan dan jalan tersebut tidak akan berfungsi manakala kita tidak memiliki “Sopir” yang piawai mengendarai kendaraan yang telah kita beli dan lalu lintas kendaraan tersebut akan kacau bahkan banyak konflik manakala tidak ada “rambu lalu lintas” yang mengaturnya. Sopir itulah yang dalam konteks TI saya analogikan dengan SDM TI dan Rambu lalu lintas saya analogikan dengan Tata Kelola TI.

Uniknya, organisasi dan pemerintah daerah di Indonesia masih sangat banyak yang awam dengan pengertian manajemen dan tata kelola TI. Jangankan mengimplementasikannya atau merasa membutuhkannya, pemahaman apa itu manajemen dan tata kelola TI masih rendah.

Manajemen Teknologi Informasi atau lebih tepatnya Manajemen Sistem Informasi adalah pengelolaan komponen-komponen Sistem Informasi (mencakup hardware, software, SDM, anggaran, informasi), sementara Tata Kelola Teknologi Informasi adalah Continue reading ““Pain Point” & “Trigger Event” Tata Kelola e-Government”